Selasa, 17 Februari 2009

PROFIL


MANGGUNG DAN STUDY
Crisna Dwi Susanti

Bakat dari orang tua memang kadang bisa menurun kepada anaknya. Barangkali itulah istilah yang harus kita ungkapkan untuk seorang salah satu pelajar yang punya bakat ini. Crisna Dwi Susanti, begitulah nama lengkap cewek yang masih pelajar salah satu SMK Negeri Badegan.
Dirinya mengakui bahwa bakat menyanyinya barangkali merupakan warisan dari ibundanya yang saat masa muda dulu menjadi penyanyi kosidah. Sebab masa muda Rusmini adalah seorang pelantun lagu-lagu Islami dan juga kerap magggung diberbagai event.
Maka tak salah bila Crisna mengaliri bakat yang dimiliki ibunya. Sehingga sejak usia 4 tahun dirinya udah berani manggung dan melantunkan lagu dangdut.
“Awalnya, goyang juga wagu,Mas. Waktu itu aku nyanyi awal kali lagu Tanda-tanda yang biasa di lantunkan Camelia Malik,” tuturnya.
Awal kali dirinya menyanyi amat bangga. Bahkan ada yang menjadi sebuah kenangan, yang menurutnya juga menjadi satu motivator dalam menapaki karirnya. Yaitu mendapat ciuman dar Bupati Ponorogo.
“Waktu itu saya masih umur 4 tahun. Namun hingga kini Ciuman Pak Markum masih terasa bagai motivator,” ujar gadis yang baru kelas 1 SMK ini.
Sempat Vakum
Mulai itulah dia menapaki karir. Di SD pun ia pentas di berbagai acara sekolahan. Akan tetapi saying saat masuk SMP dirinya vakum dalam menyanyi beberapa waktu. Menurutnya kevakuman ini terjadi karena dia mulai paham akan keremajaan. Hingga dia kadang malu kalau mau manggung. Terlbih ditonton cowok minder juga rasanya, aku cewek berbintang Cancer ini.
Barang kali ini sebuah perubahan yang harus dijadikan lkecutan bagi vokalis anak. Sebab kevakuman sebnarnya tidak harus terjadi. Maka tanggap akan perubahan anak di masa transisi ini diperlukan sehingga si vokalis kecil bisa semakin meningkat kariernya, tutur Rusmini Crisna. Dirinya menyesal waktu itu tidak bisa mengerti masa transisi Crisna.
Maka mulai kelas 3 SMP akhir menjelang ujian Crisna kembali naik panggung. Saat itu mau naik pentas lagi karena ada acara pernikahan salah seorang tetangganya. Maka dia didesak untuk naik panggung. Dan jawaban yang pasti harus mau, kenang pelantun dangdut yang suka lagu Rita Sugiarto ini.
Kuliyah dan tetep nyanyi
Tak terlalu tinggi harapan dari Crisna. Sebab dirinya hanya berharap bisa sekolah dan tetep eksis nyanyi. Meski hanya di acara resepsi pernikahan atau event lain. Sebab bagi anak pasangan Rusmini dan Samuji ini nyanyi dangdut telah menjadi jiwa. Dia juga gak paham kenapa dulu pilih dangdut?
“Barang kali aja itu jalan rejeki,” ujarnya.
Gadis kelahiran 3 Juli1992 ini ingin membantu ibunya dan bisa kuliyah dengan uang sendiri. Bahkan kalu bisa Crisna ingin ibu dan bapaknya bisa naik haji dengan uang hasil keringatnya. Maka sampai saat ini uang hasil tanggapan nyanyi selalu tak lupa disisihkan untuk orang tuanya meski ia mengambil sebagian untuk sekolah. Crisna tak ingin dirinya membebani begitu banyak pada orang tuanya untuk sekolah Tinggi kelak. Itu adalah inti perjuangan Crisna yang rela manggung malam hari meski esok harus sekolah memenuhi kewajiban sebagai pelajar. (kangji)

Minggu, 15 Februari 2009

KULINER



DAWET JABUNG PONOROGO

Istilah dan nama

Kalau anda melalui jalan Ki Ageng Kutu lurus hingga selatan Kantor Kecamatan siman anda pasti akan melihat berjajar warung. Baik itu warung kopi atau warung yang ada tulisannya Dawet Jabung. Jabung sebetulnya adalah nama desa yang terletak di Kecamata Mlarak. karena dawet yang kini bertebaran di Ponorogo dari desa Jabung maka kemudian di sebut DAWET JABUNG

Itulah yang sesungguhnya Dawet kas asli Ponorogo. Dawet ini untuk cendholnya terbuat dari pati atau tepung dari batang aren. Atau yang di sebut sagu. Sedang gula merahnya adalah gula kelapa yang dulu di dapat dari Grogol Kecamatan sawoo ( hingga sekarang tetap jadi produsen gula merah). Dengan begitu dawet Jabung dan dhawet-dawet lain berbeda rasanya. Sehingga dawet Jabung bisa go public. Sedang Aren atau nira biasanya diperoleh dari kecamatan Ngebel.

Penyajian unik

Dawet dari desa Jabung selain memiliki rasa yang kas dan harga ayang amat murah juga ada satu lagi yang menyebabkan amat di kenal, yaitu cara penyajian. Dawet ini disajikan dalam keadaan segar artinya selalu memakai Es batu bila kita gak minta tanpa es. Selain itu di Jabung di sajikan dengan mangkok yang di letakakan di atas lepek. Awas jangan sampai salah ambi seperti kopo. Lepek gak boleh di pegang atau ambil. Tapi hanya mangkoknya, loh. Sebab konon kata orang artinya mau mengajak bakulnya sekalian.

Entah kebetulan atau tidak, seorang pembeli dari luar kota, tanpa sengaja mengambil mangkok bersama lepeknya. “Mas, mangkoknya saja yang diambil,” ingat si penjual. Ketika ditanya alasannya, si Mbak hanya menyahut “Lepeknya buat tutup gula, nanti diserbu lalat,” tolaknya haluss. Ssttt…saya kasak-kusuk sama si Anton, “Mbak’nya jelas nolak, wong sudah tuwirr,” bisik saya.

Jabung tempo dulu

Konon kemahsyuran dawet Jabung berkaitan erat dengan legenda warok Suromenggolo, yang terkenal sakti mandraguna dan merupakan tangan kanan R. Bhetoro katong.

Diceritakan, suatu hari Warok Suromenggolo terlibat perang tanding melawan Jim Klenting Mungil yang menguasai gunung Dloka dan mempunyai pusaka andalan yaitu Aji Dawet Upas. Konon, ajian ini berbentuk cendol dawet yang terbuat dari mata manusia. Terkena ajian dawet upas seketika tubuh warok Suromenggolo menderita luka bakar hingga pingsan.

Warok Suromenggolo akhirnya ditolong oleh seseorang pengembala sapi bernama Ki Jabung. Setelah diguyur dawet buatan Ki Jabung, seketika luka yang diderita Warok Suromenggolo sembuh, bahkan dapat mengalahkan Jim Klenting Mungil dan Jim Gento. Sebagai ungkapan terima kasih, Warok Suromenggolo mengeluarkan ungkapan yang kemudian jadi sabda, kelak masyarakat desa Jabung akan hidup makmur karena berjualan dawet.

Kini hampir seluruh warga desa Jabung berjualan dawet. walaupun hanya warung dawet sederhana, namun rata-rata kehidupan mereka berkecukupan. apakah hal ini berkat sabda Warok Suromenggolo?

Sumber : Buku “Mengenal potensi dan dinamika Ponorogo” 19

Rabu, 11 Februari 2009

HIBURAN

MADA IRAMA BIKIN ALBUM BARU

Jangan sepelekan kuli-kuli, barangkali itulah yang harus sampeyan katakana pada anak muda Ponorogo yang mangkal di jalan Gajah Mada. Meski hanya sekedar kuli yang menurunkan barang dagangan sebuah took di jalan Gajah Mada Ponorogo, ternyata mereka sanagat piawai memainkan alat musik.

Melihat bakat yang berkembang semacam itu maka, Adi Praja salah satu pencipta lagu profil di Ponorogo yang trend dengan lagu Campur Sari Selendang Biru dan Taman Singo bersama dalang Poer, mengajak para kuli itu untuk membuat Group Musik yang beraliran Campur sari Dangdut.

Mada Irama demikian nama Group campur sari dangdut yang di prakarsai oleh Adi Praja. Pada Tahun 2009 ini mereka telah bersiap untuk meluncurkan album anyar yang bertitel Terminal Selo Aji. Album ini menurut Adi Praja yang juga selaku menejer Mada Irama kebanyakan menceritakan kondisi Ponorogo. Sehingga dirinya amata optimis album perdana dari Mada Irama ini akan diterima pasar, khususnya Ponorogo dan kota sekitar.

Bahakan Adi Praja meyakini bahwa Campur Sari dangdut ini akan bias go luar kota. Sebab dalam albumnya selain menceritakan Ponorogo juga banyak yang bercerita lain dan humor.

“Namun untuk pengambilan gambar dalam video klip tetap di Ponorogo. Artinya di Kota Reyog,” jelasnya.

Album yang bertitel Terminal selo Aji ini akan dipersiapkan menggebrak ponorogo dan kota-kota lain mulai Maret 2009. tunggu saja saat luncurnya………..

Selasa, 10 Februari 2009

Opini Sastra


Potret buram nasib perempuan dalam sastra
« Thread Started on Jan 22, 2008, 2:53pm »

NASIB kaum perempuan Indonesia di tengah dominasi budaya patriarkhi dapat ditelusur sejak roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli yang terbit pada masa pra-Pujangga Baru. Menjadi representasi dari keadaan zamannya, dalam novel itu perempuan digambarkan dalam posisi yang lemah dan menjadi 'korban' kepentingan orang tua, adat, dan nafsu lelaki. Untuk melunasi hutang ayahnya, Siti Nurbaya harus menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki tua yang sudah bau tanah.

Meskipun ditulis oleh pengarang lelaki, dan tidak secara jelas membela kaum perempuan, novel tersebut sebenarnya dapat dimaknai sebagai suatu 'kesaksian zaman' tentang nasib kaum perempuan. Karena itu, dalam jangka panjang kesaksian itu dapat mengundang empati terhadap nasib kaum perempuan, dan pada akhirnya akan mengundang pembelaan. Kenyataannya, pada pasca-kolonialisme, Siti Nurbaya cukup memberi inspirasi untuk mendorong kebangkitan kaum perempuan agar tidak bernasib seperti Siti Nurbaya.

Namun, pada kenyataannya pula, dalam rentang sejarah sastra Indonesia yang cukup panjang, lebih banyak karya sastra Indonesia, karya para penulis Muslim atau bukan, lebih banyak menempatkan perempuan dalam posisi tertindas. Kondisi tersebut, jelas memberikan pencitraan negatif pada perempuan sebagai 'mahluk kelas dua' yang lemah dan gampang dikuasai oleh kaum lelaki. Hingga kini, tokoh-tokoh perempuan kerap ditulis menjadi korban kekerasan, penindasan, perkosaan, dan bahkan pengucilan.

Potret buram nasib perempuan dalam sastra itu terentang sejak masa Siti Nurbaya, dan novel sezamannya, seperti Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, serta karya-karya para penulis Indo-Belanda dan peranakan Cina yang cukup marak pada abad sebelumnya (1890-an), seperti Nyai Dasima (1890) karya G Francis, Nyai Isah karya F Wiggers, Nona Leonie karya HFR Kommer, dan Rosina karya FDJ Pangemanan. Meski tokoh-tokoh utamanya dilukiskan sebagai perempuan tegar, kaum perempuan di sekitarnya cenderung digambarkan bodoh, miskin, lemah, dan jadi korban budaya patriarkhi. Dalam Surat-Surat Kartini, meskipun ada pesan emansipatoris, perempuan (Kartini), juga digambarkan lemah dan jadi korban budaya patriarkhi.

Ditarik seabad lebih ke masa terkini, potret buram kaum perempuan miskisn, bodoh, dan cenderung jadi korban masih terlihat pada banyak karya sastra Indonesia, termasuk yang lahir dari para penulis Muslimah, seperti Dianing Widya Yudhistira dalam novel Sintren (2007). Tokoh utamanya, Saraswati, adalah gadis cantik yang lemah, bodoh, dan miskin, yang harus menjadi penari sintren dan 'dikorbankan' untuk kekuasaan lelaki. Dalam cerpen Jaring-jaring Merah, Helvy Tiana Rosa juga memotret kaum perempuan Aceh yang menjadi korban kekerasan kaum lelaki di tengah konflik bersenjata antara TNI dan GAM. Dalam novel Matahari di Atas Gilli karya Lintang Sugianto, meskipun ada semangat emansipatoris, kaum perempuan rata-rata juga digambarkan lemah, tidak terdidik, dan banyak yang meninggal saat melahirkan.

Tentu tidak terlalu meleset untuk mengatakan bahwa gambaran tentang perempuan dalam sastra Indonesia, juga karya-karya sastra dari dunia Islam serta Negara-negara berkembang pada umumnya, cenderung buram dan menjadi kaum yang tunduk dalam budaya patriarkhi. Belakangan ini, kita dapat membaca makin banyak karya sastra (novel) dari dunia Islam, baik dari kawasan Timur Tengah, Asia, maupun Afrika, dengan gambaran nasib perempuan yang kurang lebih sama.

Gambaran ideal

Upaya untuk menggambarkan sosok perempuan secara lebih ideal, sebenarnya telah kerap juga dilakukan oleh sementara pengarang Indonesia. Dalam novel Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya, tokoh perempuan (Tuti) digambarkan sebagai sosok yang terpelajar, modern, berpikiran maju, dan menjadi tokoh pergerakan yang tegar. Kaum perempuan 'memimpin proses perubahan sosial' kea rah kemajuan bangsanya, khususnya kemajuan kaum perempuan.

Namun, idealisasi sosok perempuan yang 'bersemangat pembebasan' seperti itu tidak memiliki mata ran yang kuat hingga sekarang. Semangat pembebasan kaum perempuan dalam novel-novel mutakhir yang popular, seperti Saman karya Ayu Utami, justru keblinger pada semangat 'feminisme sempalan' yang cenderung berorientasi pada 'kebebesan perempuan untuk menikmati seks di luar nikah dan dari aturan moral'. Pembebasan seperti ini justru mengembalikan posisi perempuan sebagai objek kaum lelaki secara lebih ekstrem. Untungnya, Saman tidak ditulis oleh pengarang Muslim, sehingga kita cukup mengerti saja semangat sekulernya.

Kenyataannya, dalam realitas kehidupan masa lalu dan masa kini, kaum perempuan memang masih cenderung menjadi objek, atau mengobjekkan diri, untuk kaum lelaki. Maraknya bisnis pelacuran, terselubung maupun terang-terangan, juga media-media porno bergambar perempuan telanjang, adalah realitas jender bersisi dua. Pada satu sisi, perempuan menjadi objek kaum lelaki, dan pada sisi lain perempuan sengaja mengobjekkan diri untuk lelaki demi uang. Jadi, perempuan berposisi sebagai objek sekaligus subjek. Apalagi, pada kenyataannya, kebanyakan germo pelacur adalah perempuan juga. Sementara, pada banyak kasus pelecehan seksual, seperti yang menimpa para TKI, kaum perempuan jelas-jelas menjadi korban lelaki, dan mereka sangat layak diselamatkan.

Persoalannya kini adalah bagaimana agar sastra Islam (seperti tema awal tulisan ini) agar dapat menjadi pelopor perjuangan jender yang efektif untuk membebaskan kaum perempuan dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan kaum lelaki. Tentu, bukan pembebasan dalam pengertian 'bebas dari aturan moral, batasan tabu dan etika seksual' semacam Saman, tetapi semangat pembebasan yang lebih Islami. Dalam hal ini, pencitraan perempuan yang 'menokoh' seperti Tuti dalam Layar Terkembang, dengan sentuhan yang lebih Islami, kiranya lebih cocok untuk Indonesia.

Mungkin itu terlampau ideal, dan agak berjarak dengan realitas. Tetapi, untuk mendorong proses perubahan sosial kaum perempuan di dunia Islam, khususnya di Indonesia, selain dibutuhkan potret nasib perempuan yang senyatanya, sering juga dibutuhkan idealisasi dengan kehadiran sosok-sosok perempuan teladan -- perempuan pelopor yang mampu membebaskan kaumnya dari kemiskinan, kebodohan dan penindasan -- yang dapat menjadi semacam kiblat mobilitas vertikal mereka. Dan, inilah 'ranah perjuangan' yang belum banyak digarap oleh pengarang Muslimah kita.

* BSW Adjikoesoemo, Alumnus Filsafat UGM, Ketua Forum Indonesia Bangkit Sumber: Republika, Minggu, 06 Januari 2008

Minggu, 08 Februari 2009

Rupa-rupa


Masjid Tegal Sari Ponorogo

Masjid Tegal sari didirikan oleh Kyai Ageng besari, teletak di desa Tegal sari Kecamartan Jetis Kabupaten Ponorogo. Jarak dari Kota ponorogo sekitar 5 km. Masjid ini ramai di kunjungi pada Bulan Rohmadhon. Meski bukan rohmadhon bila malam jumat banyak jama'ah yang iktikaf di masjid ini dan ziarah ke makam Kyai ageng Besari yang juga menjadi guru dari ronggo warsito.

Senin, 02 Februari 2009